Rabu, 12 Desember 2007

Al-Kindi

Penggerak dan Pengembang Ilmu Pengetahuan

Riwayat Hidupnya
Al-Kindi lahir pada tahun 809 M/185 H, Nama sebenarnya adalah Abu Yusuf Ya’kub Bin Ishak Al-kindi. Ia adalah keturunan suku Kindah, Arab selatan yang merupakan salah satu suku Arab besar pra-Islam. Ayahnya Ishak Al-Sabah adalah seorang gubernur Kufah di masa Khalifah Al-Mahdi (775-78M) dan Khalifah Ar-Rasyid (786-809M). Ia lahir ditengah keluarga yang kaya akan informasi kebudayaan dan berderajat tinggi serta terhormat dimata masyarakat. Al-Kindi (185H/801M-260H/873M).


Ia pergi ke Bashra yang pada saat itu merupakan tempat persemaian gerakan intelektual dan pusat ilmu pengetahuan yang besar. Sebuah kota yang menjanjikan harapan bagi para penggumul ilmu. Ia lalu pergi ke Baghdad dan menyelesaikan pendidikannya disana, di sini ia berkenalan dengan al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan Ahmad putra al-Mu’tasim. Ia diangkat sebagai guru pribadi Ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya-karyanya.

Al-Kindi hidup selama masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu al-Amin (809-813M), al-Ma’mun (813-833M), al-Mu’tasim (833-842M), al-Watiq (842-847M), dan al-Mutawakil (847-841M).

Karya-karyanya
1. Bidang Astronomi
· Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib, jawaban dari pertanyaan tentang planet.
· Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah, pemecahan soal-soal fisis tentang
sifat-sifat perbintangan.
· Risalah fi anna Ru’yat al-Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-
Taqrib, bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan mutlak.
· Risalah fi Mathrah asy-Syu’a, tentang projeksi sinar.
· Risalah fi Fashlayn, tentang dua musim (musim panas dan musim dingin).
· Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib, tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-
planet.
· Fi asy-Syu’at, tentang sinar (bintang).

2. Meteorologi
· Risalah fi ‘illat Kawnu adh-Dhabasb, tentang sebab asal mula kabut.
· Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww wa Yusamma Kawkaban, tentang tanda yang
tampak di langit dan disebut sebuah planet.
· Risalah fi ‘illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah, tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun.
· Risalah fi al-Bard al-Musamma “Bard al-Ajuz”, tentang dingin.

3. Ramalan
· Risalah fi Taqdimat al-Khabar, tentang prediksi.
· Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifah fi al-Ahdats, tentang ramalan dengan mengamati gejala
meteorologi.

4. Besaran (Magnitude)
· Risalah Ah’ad Masafat al-Aqalim, tentang besarnya jarak antara tujuh iklim.
· Risalah fi Istikhraj Bu’da Markaz al-Qamar min al-Ardh, tentang perhitungan jarak antara
pusat perhitungan bulan dari bumi.

5. Ilmu Pengobatan
· Risalah fi ‘illat Naftcad-Damm, tentang hemoptesis (batuk darah dari saluran pernapasan).
· Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib, tentang rabies.

6. Geometri
· Risalah fi Amal Syakl al-Mutawassithayn, tentang konstruksi bentuk garis-garis tengah.
· Risalah Ishlah Kitab Uqlidis, tentang perbaikan buku Euclides.

7. Ilmu Hitung
· Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah, tentang jumlah relatif.
· Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-‘Adad, tentang keesaan dari segi angka-angka.

8. Logika
· Risalatuhu fi Madhkal al-Manmtiq bi Istifa al-Qawl fihi, sebuah pengantar lengkap tentang
logika.
· Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris, sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry.

9. Sferika
· Risalah fi al-Kuriyat, tentang sferika
· Risalah fi Amalis Samiti ‘ala Kurah, tentang konstruksi sebuah azimuth atas suatu sferah.

Karya-karya yang disebutkan diatas adalah merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan.

Ajaran Filsafatnya
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Gagasan Al-Kindi mengenai filsafat berasal dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun juga benar ia meletakkan gagasan itu dalam konteks baru, dengan mendamaikan warisan Hellenistis dengan Islam.

Al-Nadim memberikan gambaran tentang Al-Kindi: “Al-Kindi adalah manusia terbaik pada masanya, unik pengetahuannya tentang seluruh ilmu pengetahuan kuno. Ia disebut filosof Arab. Buku-bukunya mengandung aneka ilmu pengetahuan. Kami menyebutnya filosof alam, karena ia menonjol dalam ilmu pengetahuan”.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran, dalam risalah Al-Kindi tentang Filsafat Awal, berbunyi demikian: “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek adalah menyesuaikan dengan kebenaran’. Pada akhir risalahnya ia menyifati Allah dengan istilah “kebenaran” yang merupakan tujuan filsafat.

Keselarasan Filsafat dan Agama
Al-Kindi mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat sedang iman merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya.

Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan: -1- Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. -2- Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. -3- Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Dalam risalah, “Jumlah Karya Aristoteles”, Al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat. Pembicaraannya tentang masalah ini dalam risalah ini, membuktikan bahwa ia membandingkan agama Islam denganfilsafat Aristoteles. Ilmu Ilahiah yang dibedakannya dari filsafat adalah Islam, sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah dan termaktub dalam Al-Qur’an. Bertentangan dengan pendapat umumnya bahwa ilmu agama (teologi) adalah bagian dari filsafat, disini kita dapati (1) bahwa kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat. (2) bahwa agama merupakan ilmu Ilahiah, sedang filsafat merupakan ilmu insani. (3) bahwa jalur agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal. (4) bahwa pengetahuan Nabi adalah langsung melalui wahyu, sedang pengetahuan filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan.
Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia memberikan dua pandangan yang berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan memilsafatkan agama. Kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu Ilahiah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu Ilahiah ini diketahui melalui jalur para Nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.

Tuhan
Suatu pengetahuan memadai dan menyakinkan tentang Tuhan merupakan tujuan akhir filsafat
Ketunggalan, ketakterlihatan, ketakterbagian, dan kepenyebaban beban gerak merupakan sifat-sifat-Nya yang dinyatakan oleh Theon. Ketika Al-Kindi menyebutkan itu, ia tak lebih dari pengalihkonsepsi Hellenistis tentang Tuhan. Keaslian Al-Kindi terletak pada upayanya mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan filosofis Neo-Platonis terkemudian.
Gagasan dasar Islam tentang Tuhan adalah Keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan kepada-Nya. Sifat-sifat ini dalam Al-Qur’an dinyatakan secara tak filosofis atau dialektis.

Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia tinggi dan dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatif. “Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, tak berkualitas, tak berhubungan, juga Ia tak dapat disifati dengan ciri-ciri yang ada, Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. Ia abadi…”.

Untuk memahami posisi Al-Kindi, kita mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan “nama-nama Allah”, mereka menerima makna harfiyah Al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mu’tazilah yang semasa dengan Al-Kindi, secara akal menfsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan Kemahaesaan-Nya. Mereka memecahkan masalah ini berdasarkan hubungan antara zat Allah dan sifat-sifat-Nya. Menurut mereka, sifat-sifat utama Allah ada tiga: tahu, kuasa dan berkehendak. Sifat-sifat ini mereka tolak, karena bila mereka menerima hal ini sebagai sifat-sifat Tuhan, berari zat-Nya banyak.

Al-Kindi, filosof muslim pertama, mengikuti kaum Mu’tazilahdalam menolak sifat-sifat tersebut. Tetapi pendekatannya dalam memecahkan masalah tersebut berbeda sekali. Pertama, yang menjadi perhatiannya bukan zat Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi hal dapat disifatinya zat Allah. Kedua, segala sesuatu dapat didefinisikan, karena itu mereka dapat diketahui dengan menentukan jenis-jenis mereka, kecuali Allah yang tak berjenis. Dengan kata lain Al-Kindi mengikuti jalur “ahli logika”.

Dalih-dalih Al-Kindi tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya. Rangkaian sebab itu terbatas, akibatnya ada sebab pertama atau sebab sejati yaitu Allah. Dalam filsafat Al-Kindi, Tuhan adalah sebab efisien.

Ada dua macam sebab efisien: Pertama, sebab efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’). Kedua, semua sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu sebab-sebab tersebut ada lantaran sebab-sebab lain.

Segala kemaujudan senantiasa membutuhkan Allah. Hal ini karena Allah, Sang Pencipta yang abadi, adalah penunjang semua ciptaan-Nya.

Ketakterhinggan
Alam, dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang tetapi tak terbatas oleh waktu, karena gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan. Keabadian alam dalam pemikiran Islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan.

Al-Kindi, berbeda dengan para filosof besar penggantinya, menyatakan alam ini tak kekal. Mengenai hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik.

Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, dan bergerak didalam ruang dan waktu. Jadi materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud yang begitu erat kaitannya dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada kecuali dalam keterbatasan.

Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian.

Dalil-dalil yang menentang ketakterbatasan diulang dalam sejumlah tulisan Al-Kindi. Kami kutipkan dari tulisannya, “Perihal Keterbatasan Wujud Dunia”, empat teori yang membuktikan keterbatasan:
1. Dua besaran (di pakai untuk garis, permukaan atau benda), yang sama disebut sama, bila
yang satu tak lebih besar daripada yang lain.
2. Bila satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, maka
keduanya akan menjadi tak sama.
3. Dua besaran yang sama tak bisa menjadi tak terbatas, bila yang satu lebih kecil dari yang
lain, karena yang lebih kecil mengukur yang lebih besar atau sebagian darinya.
4. Jumlah dua besaran yang sama, karena masing-masing terbatas, adalah terbatas.

Dengan ketentuan ini, maka setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak didalam waktu adalah terbatas, meski benda tersebut adalah wujud dunia. Dan karena terbatas maka tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.

Ruh dan Akal
Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah, dan berbeda dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan yang ada di bumi dan melihat hal yang dialami. Setelah terpisah dari tubuh ia menuju ke alam akal, kembali ke nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya.

Tiga bagian ruh adalah nalar, keberangan dan hasrat. Orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani, dan berusaha mencapai hakikat segala sesuatu adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta.

Al-Kindi membagi akal menjadi empat macam yaitu (1) Akal yang selalu bertindak. (2) Akal yang selalu potensial berada didalam ruh. (3) Akal yang telah berubah dalam ruh, dari daya menjadi aktual. (4) Akal yang kita sebut akal yang kedua. Yang dimaksudkan dengan “akal kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas, diantara yang memiliki pengetahuan dengan yang mempraktekkannya.

Jalannya akal ini diterangkan kembali oleh Al-kindi dalam risalahnya “Filsafat Awal”. Ia berkata: ‘Bila genus-genus dan spesies menyatu dalam ruh, maka mereka menjadi terakali. Ruh menjadi benar-benar rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum menyatu ruh berdaya. Maka, segala suatu yang maujud dalam bentuk daya tak dapat menjadi aktual, kecuali bila dibuat oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus dan spesies itulah yang menjadikan ruh yang berupa daya rasional menjadi benar-benar aktual, maksud saya yang menyatu dengannya”.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah kapan ya akan ada lagi muslim-muslim seperti dia????