Rabu, 12 Desember 2007

Imam Ghazali

1. Riwayat Hidup.
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin At-Tusi Al-Ghazali. Lahir di desa Gazalah, di Tus, sebuah kota di Persia pada tahun 450 H atau 1058 M dari keluarga yang religius, Ayahnya, Muhammad, diluar kesibukannya sebagai seorang pemintal dan pedagang kain wol, selalu meluangkan waktunya untuk menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan ulama. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu Al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusi Al-Ghazali yang dikenal dengan julukan majduddin (wafat pada tahun 520 H). Keduanya kemudian menjadi ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda. Majduddin lebih cenderung pada kegiatan da’wah dibanding Al-Ghazali yang menjadi penulis dan pemikir.


Pendidikan Al-Ghazali di masa kanak-kanak berlangsung di kampung asalnya. Setelah ayahnya wafat, ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani At-Tusi, seorang ahli tasawuf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, sangsufi mendidik mereka secara langsung. Namun, setelah harta mereka habis, sementara sufi itu seorang yang miskin, mereka berdua akhirnya dimasukkan ke sebuah madrasah di Tus. Nama madrasah ini tidak pernah disebut oleh Al-Ghazali maupun penulis biografinya. Madrasah ini memberi para pelajarnya pakaian dan makanan secara cuma-cuma. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah itu sempat menjadi tujuan Al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu menyadarkan Al-Ghazali bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari penghidupan, melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT dan mencapai pengetahuan tentang Allah SWT secara benar. Di madrasah inilah Al-Ghazali mulai belajar fiqih.

Setelah mempelajari dasar-dasar fiqih di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak diantara kota Tabristan dan Nisabur. Di jurjan, ia memperluas wawasannya tentang fiqih dengan berguru kepada seorang faqih yang bernama Abu Al-Qasim Isma’il bin Mus’idah Al-Isma’ili (Imam Abu Nasr Al-Isma’ili). Setelah sempat pulang ke Tus, Al-Ghazali berangkat lagi ke Nisabur. Di sana ia belajar kepada Imam Abu Al-Ma’ali Al-Juwani dalam ilmu fiqih, ilmu debat, mantik, filsafat, dan ilmu kalam.

Selain itu, Al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu Imam Yusuf An-Nassaj dan Imam Abu Ali Al-Fadl bin Muhammad bin Ali Al-Farmazi At-Tusi. Ia juga belajar hadits kepada banyak ulama hadits, seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad Al-Hafsi Al-Marwazi, Abu Al-Fath Nasr bin Ali bin Ahmad Al-Hakimi At-Tusi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad As-Sujja’i Az-Zauzani, Al-Hafiz Abu Al-Fityan Umar bin Abi Al-Hasan Ar-Ru’asi Ad-Dahistani, dan Nasr bin Ibrahim Al-Maqsidi.

Setelah gurunya, Al-Juwaini, meninggal dunia, Al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintahan sultan Adud Ad-Daulah Alp Arsalan (lahir pada tahun 455 H atau 1063 M dan wafat pada tahun 465 H atau 1072 M) dan Jalal Ad-Daulah Malik Syah (lahir pada tahun 465 H atau 1072 M dan wafat pada tahun 485 H atau 1092 M) dari dinasti Salajikah di Al-Askar, sebuah kota di Persia. Kediaman wazir ini merupakan sebuah majelis pengajian, tempat ulama bertukar pikiran. Wazir tersebut kagum terhadap pandangan-pandangan Al-Ghazali sehingga ia diminta untuk mengajar di Madrasah Nizamiyyah Baghdad yang didirikan oleh wazir sendiri. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H.

Empat tahun kemudian, ia meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Kepergiannya ini, konon dikarenakan Al-Ghazali telah mulai terserang penyakit syak (keraguan). Ia syak pada pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, karena panca indera terkadang berdusta. Ia juga syak terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran akal, karena dalam pemikiran itu akal mempergunakan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera sebagai bahan. Dan bahan itu disyaki kebenarannya. Penyakit syak di dalam hati ini menimbulkan penyakit jasmani dalam dirinya. Al-Ghazali tidak bisa berbicara lagi sebagaimana semula, karenanya ia tidak sanggup lagi memberikan kuliah-kuliah. Kemudian ia pergi ke Damaskus, lalu beri’tikaf di Masjid Umawi. Disini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan, dan menyucikan diri dari dosa.

Jalan sufi yang ditempuh Al-Ghazali diakhir masa hidupnya menghilangkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang dulu hilang, kini ia peroleh kembali. Tingkat ma’rifat yang terdapat dalam tasawuf, menurutnya, adalah jalan yang membawa kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini. Setelah itu, ia kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan kegiatan mengajarnya. Selanjutnya, ia berangkat ke Nisabur dan ke kampung halamannya, Tus. Ia wafat di kampung halamannya pada tahun 505 H atau 1111 M.

2. Karya-karya Imam Al-Ghazali.
Imam Al-Ghazali berbeda dengan para sufi lainnya. Meskipun ia sufi, ia juga seorang filosof ulung, teolog, dan seorang ahli hukum terkemuka yang dimiliki umat Islam. Tak heran jika di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam. Gelar tersebut pantas diberikan kepada Imam Al-Ghazali, karena ia banyak menuliskan kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu yang menjadi warisan umat Islam sampai akhir zaman. Karya-karyanya antara lain : 1. Tentang Akhlaq dan Tasawuf : Ihya ‘ulum Ad-Din, Minhajul ‘Abidin, Kimiya As-Sa’adah, Al-Munqiz min Ad-Dalal, Akhlaq Al-Abrar wa An-Najah min Al-Asyrar, Misykah Al-Anwar, Asrar ‘Ilm Ad-Din, Ad-Durar Al-Fakhriyah fi Kasyf Ulum Al-Akhirah, dan Al-Qurbah ila Allah Azza wa Jalla; 2. Tentang fiqih : Al-Basit, Al-Wasit, Al-Wajiz, Az-Zari’ah ila Makarim Asy-Syari’ah, dan At-Tibr Al-Masbuk fi Nasihah Al-Muluk; 3. Tentang Ushul Fiqih : Al-Mankhul min Ta’liqat Al-Ushul, Syifa Al-Ghalil fi Bayan Asy-Syabah wa Al-Mukhil wa Masalik At-Ta’lil, Tahzib Al-Ushul, dan Al-Mustafa min ‘Ilm Al-Ushul; 4. Tentang Filsafat : Maqasid Al-Falasifah, Tahafut Al-Falasifah, dan Mizan Al-Amal; 5. Tentang Ilmu Kalam : Al-Iqtisad fi Al-I’tiqad, Faisal At-Tafriqah bain Al-Islam wa Az-Zandaqah, dan Al-Qistas Al-Mustaqim; 6. Tentang Ilmu Al-Qur’an : Jawahir Al-Qur’an, dan Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil.

Tidak ada komentar: